Manusia, Wabah, dan Sastra

Artikel ini ditulis oleh Dwi Oktarina, S.S. (Pengkaji Bahasa dan Sastra, Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung)

Tubuh manusia kerap dilambangkan dengan sesuatu yang sakral seperti kastil dan kuil, juga sesuatu yang kuat seperti kapal. Meskipun demikian, tubuh tetap rentan karena sering terserang gangguan penyakit yang hanya bisa dicegah dengan jalan perlindungan pola hidup yang sehat. Absennya pengetahuan empiris di masa-masa awal pengetahuan membuat fungsi tubuh diselimuti dengan mitos-mitos yang banyak dipercaya orang.

Dalam bukunya De Rerum Natura, penyair latin Lucretius membantah jika penyakit dan wabah berasal dari hal-hal berbau supranatural. Ia lebih fokus mendeskripsikan ketakutan tak terkontrol yang dialami oleh masyarakat. Menurutnya, kehadiran suatu wabah dalam kehidupan tidak memandang seseorang yang baik atau jahat, siapa saja bisa terjangkit olehnya. Selain itu, wabah dapat mendorong sifat ketamakan dan ketidakpedulian manusia terhadap sesama dan alam sekitarnya. Mengutip Healy (1995), penyakit adalah sisi gelap pada kehidupan manusia. Ia adalah mimpi buruk yang selalu berulang pada naskah-naskah cerita fiksi. Lucretius menyebut bahwa atom-atom memberi kehidupan pada manusia, sementara penyakit datang dalam bentuk tak terduga melayang-layang serupa kabut dan awan. Hal ini sudah tercantum dalam naskah di tahun 96—55 sebelum masehi.

Tercatat banyak naskah lain yang membahas hal serupa. Oedipus The King karya Sophocles adalah salah satu dari sekian banyak naskah klasik yang membahas kehadiran wabah di tengah-tengah umat manusia. Bedanya, Sophocles menceritakan wabah yang terjadi di kota Thebes (latar pada Oedipus The King) adalah perwujudan murka Tuhan atas kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Oedipus yang tidak sadar telah membunuh ayah kandungnya sendiri adalah sumber dari segala kekacauan. Dewa menghukum orang-orang di Thebes dengan menghadirkan wabah yang membuat kematian jadi makin dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia pernaskahan dan manuskrip kuno, hadir pula naskah-naskah yang membahas wabah penyakit menular, khususnya yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai Tha’un. Butar-Butar (2020) dalam Kepustakaan Medis-Pandemik di Dunia Islam menyebutkan beberapa manuskrip yang menceritakan wabah-pandemik di antaranya adalah 1) Ar-Risālah al-Mughniyah fī as-Sukūt wa Luzūm alBuyūt karya Al-Hasan bin Ahmad al-Baghdady,  2) Māddah al-Baqā’ fī Ishlah Fasād al-Hawā’ wa atTaharruz Min Dharar al-Aubā’ karya Muhammad bin Ahmad
at-Tamimy, 3) Kitāb Dzikr al-Wabā’ wa ath-Thā’ūn karya Yusuf bin Muhammad as-Sarmady, dan masih banyak lagi naskah lainnya.

Manuskrip nusantara lain yang membahas wabah di antaranya berlatar Kerajaan Kediri, Majapahit, dan Gelgel. Tercatat naskah Babad Calon Arang, Keputusan Bharadah, dan Taru Pramana. Dalam webinar yang diselenggarakan Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) dengan narasumber Sugi Lanus, dijelaskan satu analogi bahwa penyakit adalah seperti tubuh dengan bayangannya: tidak bisa terpisahkan. Mulai dari kisah mengenai asal mula wabah, upaya pengobatan, protokol kesehatan, isolasi diri, hingga proses pemakaman dan puja doa disampaikan dalam bentuk catatan yang rapih. Wabah yang menjadi perhatian adalah cacar, kusta, bahkan yang dihubungkan dengan ilmu hitam seperti yang dituduhkan kepada Calon Arang, si penebar teluh.

Wabah dan Cermin Masyarakat

            Dalam esai yang berjudul Literature and Society, Watt menyebut hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Sastra dianggap sebagai cermin masyarakat. Dalam beberapa kasus, sastra dapat dianggap mencerminkan kondisi masyarakat yang terjadi pada saat sebuah karya dituliskan. Misalnya saja A Journal of the Plague Year karya Daniel Defoe (1659—1731) yang menceritakan satu narasi panjang dan statistik yang didasarkan pada peristiwa Wabah Besar London (1665). Hal yang sama juga ditulis oleh novelis Allesandro Manzoni (1785—1873) yang mengisahkan deskripsi wabah yang menyerang kota Milan sekitar tahun 1630-an.

            Meskipun demikian, Swingewood juga mengemukakan pandangan lain bahwa slogan “sastra adalah cermin masyarakat” harus hati-hati ketika digunakan. Seorang pengarang besar tidak hanya menggambarkan dunia sosial secara mentah. Ia mengemban tugas yang mendesak: memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari “nasib” mereka sendiri—untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial (Pradopo, 1978).  Hal ini sesuai dengan fakta bahwa sastra kadang ditulis jauh melewati masa yang ada sehingga tidak bisa pula dianggap sebagai cerminan kehidupan masyarakat.

Tidak sedikit karya yang mendasarkan ceritanya berdasarkan tema wabah dan penyakit yang dihadapi manusia tetapi dengan latar yang ada di masa depan. Novel The Last Man (1826) karya Mary Shelley adalah novel apokaliptik pertama yang menceritakan dunia di masa depan saat berada di ambang kehancuran akibat wabah. Hanya beberapa orang saja yang tersisa dan harus saling menghindari kontak antara satu dengan yang lainya. Beranjak ke tahun 1912, Jack London menerbitkan satu novel fiksi pascaapokaliptik (hal-hal yang berkaitan dengan kehancuran atau kiamat) dalam dunia kesusasteraan modern. Novel itu berjudul The Scarlet Plague. Berlatar di Amerika pada tahun 2073, 30 tahun sejak wabah Red Death, sebuah pandemi hampir menghancurkan populasi penduduk dunia pada tahun 2013. Novel ini berkisah tentang Granser, tokoh utama yang menceritakan kepada cucunya bagaimana pandemi itu terjadi dan reaksi orang-orang saat mengalami ketakutan dan kematian. Walaupun sudah diterbitkan hampir seabad lalu, cerita fiksi ini terasa sangat dekat dengan kehidupan modern saat ini karena ia merefleksikan pandangan dunia tentang sebuah ketakutan massal yang berujung pada kematian. Ketakutan itu, disadari atau tidak, masih tetap hidup terlebih saat Covid-19 berada di tengah-tengah kita saat ini.

            Sebuah karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan (peradaban) yang menghasilkannya. Sastra harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya sehingga memancing pemikiran kita menuju sesuatu yang lebih besar. Karya sastra-karya sastra yang telah disebutkan sebelumnya tidak akan menjadi besar apabila tak ada gagasan di dalamnya yang bahkan bertahan hingga di era sekarang. Suatu nilai yang bisa terus diaplikasikan dalam kehidupan manusia.

Kehadiran wabah dan ketakutan yang dialami manusia tentu tidak bisa dihindari. Hal ini yang harus dipelajari. Bagaimana cara manusia mengatasi ketakutan tersebut, bagaimana cara dunia meredam ketakutan yang ada, bagaimana protokol kesehatan saat sebuah wabah terjadi, atau bagaimana cara bertahan hidup di tengah kematian yang terus bertambah setiap hari. Semua hal yang terjadi di masa lampau dapat dijadikan pelajaran apabila kita mampu memahami sebuah karya sastra bertema pandemi dengan baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *