Saat ini, rasa-rasanya tidak ada manusia modern yang tidak menggunakan media sosial dalam kehidupannya. Jika ditanya, apa yang dimaksud dengan media sosial, jawabannya bisa saja beragam. Media sosial merujuk pada satu istilah yang memayungi definisi situs dan fungsi yang melayani interaksi sosial antara individu yang menggunakannya sebagai bagian penting komunikasi interpersonal mereka (Page, 2014). Komunikasi interpersonal dimaknai sebagai komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih yang setiap partisipannya menggunakan semua elemen dari proses komunikasi. Dengan adanya media sosial, seseorang dapat terbantu dalam menyatakan gagasa, perasaan, bahkan harapannya.
Sejarah panjang media sosial dapat dikatakan bermula sejak tahun 1980-an, yakni ketika mulai digunakannya bulletin board system (BBS), usenet, dan percakapan relay internet. Walaupun berbeda platform seperti media sosial yang kita kenal sekarang, ketiga hal ini dapat dikatakan sebagai cikal bakal media sosial modern. Beranjak ke tahun 1990-an, situs eBay diluncurkan dan menjadi platform jual beli kemudian disusul dengan kehadiran weblog, atau yang kita kenal sebagai blog (live journal dan blogger). Wikipedia dan Trip Advisor lahir di 2001 lalu Skype dan WordPress meluncur pada 2003. Tahun berikutnya, Facebook—yang disebut-sebut sebagai platform media sosial dengan jangkauan terluas dan terbanyak digunakan orang-orang—mulai diluncurkan. Youtube lahir di tahun 2005 lalu Twitter pada tahun berikutnya. Salah satu perubahan revolusioner lain adalah kehadiran format mp3 dan plugin perangkat lunak berupa flash yang memungkinkan kita mendengar tampilan format suara dan video menjadi lebih mudah. Hal ini juga membawa pendengar atau penonton menuju babak baru media sosial yang lebih interaktif (Boyd Ellison, 2007).
Cann, Dimitriou, dan Hooley dalam Social Media: A Guide for Researcher mendefinisikan tiga kategori media sosial, yakni 1) komunikasi, meliputi blog dan jaringan sosial, 2) kolaborasi, meliputi situs wikipedia, berita dan informasi sosial, dan 3) multimedia, meliputi peranti suara dan video serta permainan dunia virtual. Alasan orang-orang menggunakan media sosial tentu harus dikembalikan kepada asalnya. Apakah seseorang membutuhkan bentuk informasi dan berita, hanya sekadar menyapa teman lama, atau bahkan mencari pekerjaan? Semua hal tersebut dapat kita akses dengan sangat mudah di era sekarang. Sebagai contoh, jika ingin membangun koneksi dan hubungan pertemanan, media sosial seperti Facebook dan Twitter menawarkan pertemanan hingga ribuan orang meskipun dalam kenyataannya mungkin tidak sampai 10% yang berteman dalam kehidupan nyata dengan si pemilik akun.
Sementara itu, untuk mencari informasi tepercaya, platform berita makin variatif dan hadir dalam beragam bentuk. Kanal-kanal berita menyiapkan siaran langsung saat terjadi satu peristiwa dan disampaikan secara interaktif dengan para penontonnya. Yang terakhir, kehadiran media sosial sebagai dunia virtual dapat dilihat pada permainan daring yang membutuhkan jumlah pemain dalam jumlah masif (massive multiplayer online role playing games /MMORPGs) seperti World of Warcraft, Final Fantasy 14, atau DOTA2. Seseorang yang sedang bermain di dunia virtual tersebut dapat menjadi sosok yang berbeda dengan yang ada di dunia nyata. Permainan secara daring tersebut juga menghubungkan orang-orang di seluruh dunia tanpa adanya sekat-sekat terkait suku, agama, bahkan ras.
Bahasa di Media Sosial
Sepanjang sejarah, banyak ahli termasuk Noam Chomsky dan Labov menyimpulkan bahwa bahasa yang kita pergunakan hingga saat ini secara konstan bertransformasi dan beradaptasi terhadap keperluan penggunanya (Chomsky, 2014). Perubahan ini adalah sesuatu yang tidak terelakkan dan membuat bahasa menjadi sesuatu yang seharusnya up to date. Apalagi di era yang makin pesat perkembangan teknologinya seperti sekarang, proses pembentukan bahasa dipengaruhi oleh perangkat teknologi modern, khususnya internet yang digunakan oleh jutaan manusia di seluruh penjuru dunia setiap harinya.
Hal yang tentu saja harus diingat ialah bervariasinya bentuk media sosial menyebabkan bervariasinya pula pola penggunaan bahasa yang ada. Pengguna media sosial mengekspresikan bahasa yang berbeda mengikuti pola interaksi mereka di media sosial. Di Facebook, seorang pengguna dapat memberikan komentar atas sebuah postingan juga dapat berkirim pesan secara privat dengan akun pengguna Facebook lainnya. Sementara itu, keterbatasan karakter di Twitter membuat orang hanya dapat berkomentar pendek-pendek saja. Media sosial yang makin tinggi penggunaannya saat ini adalah Youtube. Melalui kolom komentar di bawah video yang diunggah ke Youtube, orang-orang dapat mengirimkan komentar, melakukan tanya jawab bahkan berdiskusi dengan pembuat konten.
Boyd dan Ellison (2007) menyebut bahwa hal yang paling penting adalah pengguna media sosial yang datang dari seluruh penjuru dunia, masing-masing membawa latar belakang budaya yang berbeda-beda. Hal ini membuat media sosial menjadi titik pertemuan bahasa yang digunakan dengan etiket berbeda dan untuk tujuan yang berbeda pula. Akan timbul pula variasi penggunaan bahasa. Salah satu contoh yakni keanekaragaman penggunaan istilah untuk tertawa. Di Indonesia, lazimnya akan digunakan kata “hahaha” atau “wkwkwk” untuk menggambarkan seseorang yang tertawa. Di Amerika akan menggunakan ekspresi LOL (laugh out loud) jika ada percakapan dengan ekspresi humor dan kelucuan. Di Jepang orang menggunakan dua atau lebih huruf “w” untuk menyatakan tertawa. Di Rusia, orang-orang menggunakan XAXA dan Spanyol menggunakan JAJAJA untuk menandakan bahwa mereka tertawa.
Penggunaan bahasa di media sosial penuh dengan akronim atau sesuatu yang dapat dengan mudah menarik perhatian. Fenomena ini dapat kita lihat pula dari penggunaan tagar (hastag). Penggunaan tagar (#) dapat menarik perhatian warganet dengan cepat. Hal ini dapat kita perhatikan dengan baik lewat media sosial Twitter dan Instagram. Dengan menggunakan tagar, seseorang dapat langsung menemukan tren apa yang sedang aktual pada saat itu. Ketika terjadi sebuah peristiwa nasional (bencana atau mungkin kerusuhan), seseorang bahkan bisa mengetahui dengan cepat peristiwa yang terjadi hanya dengan mengeklik tagar yang sedang menjadi trending di media sosial tersebut.
Secara tidak langsung, terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan kita akibat kehadiran media sosial. Orang-orang membagikan informasi pribadi sekaligus berkomunikasi dengan audiens secara luas. Gaya berkomunikasi pun menjadi lebih informal sekaligus terbuka. Hal ini dapat menjadi pisau bermata dua jika pengguna media sosial tidak dibekali dengan kemampuan memilah informasi mana yang boleh disampaikan dan mana yang tidak boleh dibagikan kepada publik. Dengan segala kemajuan teknologi, pengguna internet memiliki akses multimedia seperti teks, suara, foto, juga video yang bisa dibagikan lewat media sosial masing-masing. Media sosial juga “memaksa” penggunanya untuk secara teratur mengunggah hal-hal terkait dirinya: pikiran, perasaan, bahkan pengalaman saat makan di kafe terbaru yang baru saja dibuka di kotanya. Hal ini bisa membawa pada kebiasaan yang kurang sehat karena seseorang sebenarnya telah melanggar batasan privasi dirinya sendiri—tetapi tentu saja tidak semua orang memiliki cukup keberanian untuk membatasi dirinya.
Penggunaan bahasa yang tidak tepat dalam media sosial juga dapat membawa penggunanya pada sesuatu yang disebut sebagai penyalahgunaan fungsi internet, misalnya penyebarluasan kata-kata kasar (ujaran kebencian). Padahal salah satu fungsi bahasa adalah fungsi interpersonal, yakni bahasa dapat digunakan untuk membangun dan memelihara hubungan sosial (Sudaryanti, 1990). Seorang pengguna media sosial yang memiliki kecerdasan untuk memilih kata-kata dan ragam tuturan yang tepat akan menimbulkan efek positif dalam proses komunikasinya, begitupun sebaliknya. Oleh sebab itu, keterampilan berbahasa mutlak diperlukan dalam menggunakan media sosial. Alih-alih untung, jangan sampai bermedia sosial membuat kita malah menjadi buntung.
Dwi Oktarina, S.S. (Pengkaji Bahasa dan Sastra, Kantor Bahasa Babel)
Tulisan ini terbit di harian Babelpos tanggal 6 Juli 2020.