Beberapa tahun belakangan, kata ‘literasi’ menjadi sangat akrab di telinga. Ihwal kata ini jadi mengemuka yakni ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkannya sebagai sebuah gerakan nasional yang kita sebut sebagai Gerakan Literasi Nasional pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2017. Jika melihat kembali pada 2016 silam, kata ‘literasi’ sama sekali belum masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring. Hal berbeda dapat ditemui sekarang. KBBI versi daring sudah menyertakan tiga definisi berbeda untuk literasi yakni
1) kemampuan menulis dan membaca, 2) pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu, dan 3) kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Kemampuan literasi yang rendah dapat mendorong beberapa dampak yang kurang baik khususnya dalam masyarakat. Dalam beberapa kasus di negara-negara berkembang, ditemukan korelasi negatif yakni tingkat literasi yang rendah membawa pada meningkatnya angka kemiskinan penduduk tersebut. Studi menunjukkan bahwa orang-orang dengan tingkat literasi yang rendah akan memiliki penghasilan yang sama sepanjang hidup mereka. Hal ini hanya sebagian kecil dari beberapa masalah menyangkut literasi yang menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Persoalan minat baca dan literasi bangsa Indonesia yang masih rendah juga merupakan satu masalah yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Tak heran kemudian Indonesia menjadikan gerakan literasi menjadi sebuah agenda nasional demi mewujudkan pembangunan pendidikan dan kebudayaan ke arah yang lebih baik. Pengembangan dan penguatan karakter serta kegiatan literasi menjadi salah satu unsur penting dalam kemajuan sebuah negara dalam menjalani kehidupan di era globalisasi. Forum Ekonomi Dunia 2015 telah memberikan gambaran tentang keterampilan abad ke-21 yang sebaiknya dimiliki oleh seluruh bangsa di dunia. Keterampilan tersebut meliputi literasi dasar, kompetensi, dan karakter.
Dalam Panduan Gerakan Literasi Nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017) disebutkan bahwa menjadi keharusan bagi masyarakat Indonesia untuk menguasai enam literasi dasar, yaitu 1) literasi bahasa, 2) literasi numerasi, 3)
literasi sains, 4) literasi digital, 5) literasi finansial, dan 6) literasi budaya dan kewargaan. Melalui gerakan yang masif dan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, diharapkan bahwa indeks literasi nasional Indonesia akan meningkat. Selain itu, Gerakan Literasi Nasional berupaya sangat keras menyinergikan semua potensi dan memperluas keterlibatan publik dalam pengembangan budaya literasi, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Konsep Multiliterasi
Selama ini, masyarakat cenderung membatasi diri pada definisi literasi sebagai pengetahuan mengenai baca tulis atau melek huruf saja (keberaksaraan). Lebih dari itu, literasi kini berkembang melintasi batas dan sekat yang ada. Saat ini, akibat perubahan sosial dan teknologi, literasi berkembang jauh menjadi gagasan baru yang disebut sebagai literasi abad ke-
21 atau disebut sebagai “multiliteracies” (multiliterasi). Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menemukan contoh multiliterasi ini sebagai sebuah praktik sosial yang sangat dekat dengan setiap perilaku yang kita lakukan.
Konsep literasi baru ini didasarkan pada asumsi bahwa ketika seseorang berupaya
‘membaca’ atau memahami dunia, ia tidak hanya menggunakan keterampilan membaca atau menulis saja, tetapi juga juga melibatkan aspek lain untuk mendefinisikan sebuah makna tertentu. Kemampuan multiliterasi diperlukan agar seseorang dapat mengelola informasi dengan baik lalu mengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-sehari. Tidak hanya baca, tulis, dan berhitung saja, tetapi juga diperluas dengan kemampuan digital, elektronik, dan memahami ekspresi visual. Seseorang yang sudah memiliki kemampuan dasar berupa membaca, menulis, atau berhitung sederhana tidak serta merta terhindar dari kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan era modern saat ini juga menuntut penguasaan keterampilan kritis dalam hal inovasi, kolaborasi, komunikasi, dan juga memecahkan masalah secara tepat dan efektif.
Pada 1996, The New London Grup menyebut istilah multiliterasi untuk mendefinisikan pandangan kontemporer mengenai literasi yang tecermin dalam bentuk-bentuk komunikasi majemuk dalam konteks keragamanan linguistik (bahasa) dan budaya di dalam sebuah masyarakat global. Lebih jauh lagi, multiliterasi didefinisikan sebagai beragam cara untuk berkomunikasi dan membuat sebuah makna atau pengertian dalam beberapa mode, misalnya visual, audio, spasial, tingkah laku, dan gestur. Makin kompleksnya bentuk-bentuk komunikasi modern saat ini juga menambah peluang masyarakat semakin mengembangkan kemampuan literasi mereka.
Istilah multiliterasi juga menggambarkan cara-cara seseorang ketika membaca atau menulis selama hidup mereka. Terjadi satu perubahan besar yang meliputi beragam variasi teks, seperti buku, majalah, label, pamflet, dan juga media noncetak seperti musik, seni, film, dan televisi. Dengan kata lain, beragam mode komunikasi yang digunakan mempengaruhi pendekatan para pembaca dalam memahami apa itu multiliterasi. G. Kress dalam buku Literacy in The New Media Age (2003) menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan dalam konsep literasi media. Ia secara spesifik menyebut bahwa media telah bergeser dari sesuatu yang dicetak menjadi satu bentuk tampilan digital yang bisa diakses melalui layar. Seseorang dinilai menguasai literasi media jika ia memiliki kemampuan mengetahun berbagai bentuk media yang berbeda, misalnya media cetak, elektronik (radio, televisi), media digital (internet), dan dapat menggunakan serta memahami tujuan penggunaannya.
Contoh lain yang bisa disebutkan yaitu konsep novel grafis. Masyarakat tidak hanya dituntut memiliki kecakapan membaca saja untuk dapat memahami sebuah novel grafis, melainkan juga harus memiliki kecakapan literasi visual agar dapat memahami gambar dan makna yang disampaikan oleh si pengarang. Literasi visual adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual secara kritis. Kecakapan dalam memberi penafsiran terhadap materi visual inilah yang diperlukan agar dapat memahami sebuah novel grafis.
Perkembangan teknologi modern saat ini mendukung perkembangan multiliterasi ke arah yang berbeda. Jika seseorang paham menggunakan teknologi dan informasi dengan benar, seseorang bisa menguasai kecakapan multiliterasi dengan baik. Seorang individu yang hidup di era modern saat ini wajib mengembangkan kemampuan multiliterasinya agar dapat terus bertahan di tengah gempuran pembaruan.
Multiliterasi dan Arah Penguatan Pendidikan Karakter
Pendidikan menjadi prioritas utama dalam membangun dan meningkatkan kualitas manusia. Literasi menjadi instrumen kunci dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang. Kemampuan literasi dasar ini dimulai dari lingkungan terdekat yakni keluarga, lalu ke sekolah, dan akhirnya ke lingkup masyarakat yang lebih besar. Dari enam kemampuan literasi dasar yang telah disebutkan sebelumnya, dibutuhkan faktor-faktor lain untuk memperkuat karakter seseorang seperti kreativitas, komunikasi, kolaborasi, dan berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah.
Semua pihak terlibat penuh dalam alur pengembangan pendidikan karakter berbasis multiliterasi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku pemangku kepentingan berupaya menjalankan program nasional secara optimal dengan tetap melakukan kolaborasi bersama semua elemen, terutama dari masyarakat terkait. Setiap orang diminta terlibat penuh dalam meningkatkan kemampuan literasi dan ikut menyebarkan semangat positif untuk menciptakan dunia literasi yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai bagian penting dari pembangunan negara, kemampuan literasi harus ditingkatkan karena tingkat literasi suatu bangsa berkorelasi positif dengan kualitas hidup dan kemajuan bangsa. Peningkatan kemampuan literasi ini berjalan searah dengan penguatan pendidikan karakter yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.
Dwi Oktarina (Pengkaji Bahasa dan Sastra di Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung)
Tulisan ini terbit di harian Babel Pos tanggal 2 April 2019.