KEMBALI KE AKAR, KEMBALI KE SASTRA LISAN

Seberapa banyak jumlah ibu yang menyenandungkan lagu pengantar tidur kepada anaknya? Seberapa sering ayah membacakan dongeng atau legenda kepada buah hatinya? Seberapa banyak anak-anak muda saat ini yang mengenal petatah-petitih khas daerahnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harusnya kembali kita tanyakan kepada diri kita bersama. Sampai sejauh mana perilaku bertutur masih tetap hidup di tengah-tengah keluarga kita.

Sastra Lisan Bagian Tradisi Lisan

Sebelum berbicara terlalu jauh mengenai sastra lisan, mari kita dedah terlebih dahulu beberapa konsep yang sering tumpang tindih yakni antara folklor, tradisi lisan, dan sastra lisan. Folklor merupakan istilah yang diciptakan seorang ahli Inggris bernama William John Thoms. Istilah folklor diklaim sebenarnya cocok dengan istilah Jerman yakni Volkskunde (Hutomo, 1991). Folklor itu sendiri   terdiri atas dua kata, folk (kelompok orang yang memiliki ciri pengenal kebudayaan yang sama) dan lore (tradisi yang diwariskan secara turun-temurun). Dengan demikian, folklor secara sederhana bermakna tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dan hidup pada satu kelompok budaya tertentu yang memiliki ciri pengenal budaya yang sama.

Istilah kedua yakni tradisi lisan, yang sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Inggris ‘oral tradition’. Sebenarnya, jika merunut pada arti kata, folklor dan tradisi lisan dapat disamakan maknanya. Kata tradisi berasal dari bahasa latin ‘traditio’ yang terbentuk dari kata

‘trader’ yang artinya mentransmisi, menyampaikan, dan mengamankan. Kata tradisi dalam KBBI versi daring memiliki ‘adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. Dalam KBBI, tradisi lisan pun disamakan dengan folklor lisan. Yang terpenting dari konsep kelisanan ini bahwa informasi disampaikan lewat tuturan dan menghubungkan satu generasi ke generasi berikutnya.

Sementara itu, Brunvand dalam Danandjaya (1984) membagi jenis tradisi lisan atau folklor menjadi tiga bagian yakni 1) folklor lisan, 2) folklor setengah lisan, dan 3) folklor nonlisan. Folklor lisan mencakup beberapa bagian misalnya ungkapan tradisional, nyanyian rakyat, bahasa rakyat,

cerita rakyat, dan teka-teki. Foklor setengah lisan misalnya drama rakyat, tari-tarian dengan tembang, kepercayaan atau takhayul, upacara adat, permainan tradisional, dan pesta adat rakyat. Sementara itu, folklor nonlisan misalnya arsitektur, perhiasan, obat-obatan tradisional, senjata tradisional, dan seni kriya lainnya

Yang menjadi inti bahasan saat ini adalah sastra lisan. Sastra lisan masuk ke dalam satu kerangka besar tradisi lisan atau folklor. Mengapa? Karena tidak semua folklor atau tradisi lisan berisikan materi kesusasteraan. Hanya beberapa bagian dari tradisi lisan yang mengandung muatan berkaitan dengan sastra. Ciri lain dari sastra lisan selain penyebarannya dari mulut ke mulut (ekspresi budaya yang disebarkan) adalah sastra lisan lahir dan berkembang di masyarakat yang belum mengenal sistem aksara (budaya tulis), bersifat anonim, bercorak puitis, lebih menekankan pada aspek fantasi, dan kadang-kadang disampaikan dalam bentuk yang tidak lengkap (Sudikan:

2018). Pembicaraan mengenai sastra lisan berarti lebih menitikberatkan pada konteks isi kesusasteraan yang terkandung dalam satu bagian tradisi lisan tersebut.

Suripan Sadi Hutomo menyebut fenomena kebudayaan tradisional berupa sastra lisan ini sebagai “mutiara yang terlupakan”. Sastra lisan menjadi satu hal yang jauh sekali untuk dijangkau. Keberadaannya begitu mudah kita lupakan. Bahkan untuk menelusuri sastra lisan saat ini perlu upaya yang sangat keras. Padahal, sastra lisan ini menjadi penting untuk kita perhatikan karena ia berdampak cukup besar khususnya dalam bidang pengajaran karakter dan kepribadian generasi muda saat ini. Sastra lisan dapat kita anggap sebagai jendela untuk membuka memori kolektif sejarah kita.

Mengapa Pendidikan Karakter?

Suyanto (2012) menyebutkan bahwa pendidikan karakter bukan sekadar membiasakan anak berperilaku baik. Lebih dari itu, pendidikan karakter dapat merangsang pembentukan watak, pikiran dan perilaku yang baik. Pendidikan karakter perlu diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak karena pada usia tersebut materi yang diajarkan bisa terpatri kuat dalam ingatan. Hasil jangka panjang pendidikan karakter sejak usia dini akan membuat negara kita memiliki ‘modal sosial’ (social capital) yang akan berkontribusi penuh dalam pembangunan bangsa dan negara (Rustini:

2012).

Sudikan (2018) menyebut bahwa tiga bagian terkait mengenai karakter adalah penguasaan seseorang atas moral (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan perilaku bermoral (moral behaviour). Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada anak-anak adalah nilai universal yang dijunjung oleh seluruh agama, tradisi, dan budaya (Megawangi: 2004). Perasaan cinta terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran dan kebijaksanaan, hormat dan kesantunan, suka menolong dan percaya diri, serta kepemimpinan dan keadilan adalah segelintir dari sekian banyak nilai-nilai yang harus diperkenalkan sejak dini kepada anak-anak muda generasi penerus bangsa kita.

Dengan melihat fakta tersebut, semakin besar harapan kita titipkan pada orang tua yang bertugas penting dalam proses tumbuh kembang anak. Kebiasaan orang-orang tua terdahulu dalam mengajari anaknya mungkin sedikit demi sedikit mulai terkikis saat ini. Senandung yang kerap disampaikan sebagai pengantar tidur, cerita-cerita seperti fabel dan legenda, bahkan ungkapan- ungkapan tradisional penuh ajaran sudah tidak terlalu banyak dikenal oleh generasi muda saat ini. Padahal keberadaan sastra lisan yang disampaikan orang yang lebih tua kepada generasi di bawahnya akan mencetak kepribadian yang luhur sejak dini.

Secara tidak langsung, pengajaran norma-norma dan kebiasaan yang baik pada generasi muda dapat kita lakukan lewat medium sastra lisan. Sastra lisan menghimpun ajaran kehidupan, adat-istiadat, juga keyakinan. Tanpa kesadaran dalam diri, mustahil seseorang dapat menjadi pribadi yang baik. Melalui cerita-cerita rakyat (legenda, fabel, mitos, dll), orang-orang tua dapat memberikan pengajaran mengenai apa yang baik dan tidak baik kepada putera-puterinya. Selain itu, beberapa bagian sastra lisan memang berfungsi sebagai pemaksa berlakunya norma-norma sosial dalam masyarakat.

Tuturan lisan yang mengandung pengajaran tidak semata-mata hanya diperoleh dari cerita- cerita biasa (tales), mitos, legenda, atau epos. Ungkapan tradisional, peribahasa, syair, pantun, bahkan nyanyian tradisional kiranya juga mampu memberikan pemahaman betapa luasnya hakikat makna dapat kita sampaikan kepada orang lain. Dalam memberi pesan kepada anak-anaknya, orang tua dapat memberi penggambaran lewat cerita-cerita rakyat atau ungkapan tradisional. Misalnya, ungkapan “abis kayu, nasi dak masak” yang bermakna ajaran agar kita hendaknya selalu mengingat-ingat suatu perkara dan jangan sampai teperdaya sehingga harta habis dengan percuma.

Keberadaan tutur lisan sejak zaman dahulu memang sudah jadi hal penting agar masyarakat menjadi punya kesadaran dan berperilaku.

Kembali ke Akar

Sastra lisan tumbuh dan berkembang di akar rumput masyarakat kita. Kembali ke sastra lisan berarti kembali ke fondasi awal komunitas yang memiliki ciri tanda pengenal budaya yang sama. Sastra lisan mampu menyingkap keberadaan petuah-petuah bahkan ajaran yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita terdahulu. Unsur pendidikan dan pengajaran budi pekerti juga termaktub di sana. Keberagaman cerita rakyat juga ungkapan tradisional bahkan pantun dapat menjadi medium yang baik untuk mentransimisikan nilai-nilai kebaikan kepada anak cucu kita.

Keteguhan hati dan prinsip memegang hubungan baik antar diri sendiri kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada alam, dan kepada orang lain di sekitarnya juga sebagai bentuk saling menyeimbangkan porsi diri dalam kehidupan bersama. Sastra lisan menjadi peneguh hal tersebut. Bertutur kata yang baik, santun, dan menghormati orang merupakan bagian kecil dari pendidikan karakter yang harus terus ditanamkan kepada generasi muda saat ini. Mari kembali mengajarkan kebaikan lewat tutur kata dan cerita-cerita rakyat yang mendidik buah hati kita.

Dwi Oktarina
Pengkaji Bahasa dan Sastra, Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung


Artikel ini terbit di harian Babel Pos tanggal 12 Desember 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *